Johnson & Johnson diduga penyebab kanker ovarium
Mulanya pengadilan di Missouri memeriksa kasus bedak Johnson & Johnson yang diduga dapat memicu kanker. Kasus ini berawal dari meninggalnya wanita bernama Jacqueline Fox dari Birmingham dalam usia 62 tahun karena kanker indung telur. Kabarnya wanita ini secara rutin menggunakan bedak Johnson & Johnson dan Shower to Shower untuk membersihkan kewanitaannya selama 35 tahun.
Kemudian keluarga Jacquelin Fox menggugat Johnson & Johnson ke pengadilan dan memenangkan perkara tersebut. Pengadilan negara bagian Missouri menyatakan bahwa Johnson & Johnson bersalah karena tidak memberikan peringatan kepada konsumen atas potensi produknya yang berbahaya.
Atas kesalahannya ini Johnson & Johnson diperintahkan pengadilan untuk membayar gantirugi kepada keluarga Fox sebesar US$ 72 juta atau sekitar Rp 1 triliun.
Gugatan di St Luis
Seorang juri di St. Luis hari Kamis kemarin mengatakan Johnson & Johnson harus membayar 550 miliar dolar AS atau senilai Rp 7,9 triliun rupiah kepada 22 orang wanita yang mengatakan bahwa asbes di bedak yang diproduksi perusahaan tersebut telah menyebabkan mereka mengidap kanker indung telur.
Anda tentu menganggap pembayaran tersebut besar karena masing-masing wanita tersebut mendapatkan kompensasi sebesar 25 juta dolar. Namun tidak demikian halnya dengan juri perkara ini. Setelah menjatuhkan keputusan tersebut para juri beruding lagi dan menetapkan pembayaran tambahan sebesar US$ 4.14 miliar yang dalam istilah hukumnya disebut "punitive damage" yang kalau dirupiahkan nilainya sekitar 59, 55 triliun.
Menurut Bloomberg gantirugi yang seluruhnya berjumlah 4.69 miliar dolar atau sekitar 67.44 triliun ini merupakan gantirugi yang terbesar yang diputuskan jury AS tahun ini. Sebelum putusan hari Kamis tersebut yang terbesar adalah gantirugi US$ 1 miliar atau senilai 14,4 triliun rupiah yang diberikan kepada korban kekerasan seksual di Georgia.
Para wanita penggugat di pengadilan St. Luis yang menggunakan bedak bayi J & J berasal dari berbagai kalangan mulai dari supir bis sekolah sampai direktur eksekutif program pelatihan kembali kerja. Mereka berasal dari berbagai negara bagian. Enam di antara mereka telah meninggal dunia jadi keluarga mereka mengajukan gugatan kematian secara tidak adil.
Menurut Wallstreet Journal, Johnson & Johnson sangat kecewa atas putusan tersebut dan berencana untuk naik banding terhadap 'proses yang secara mendasar tidak patut'.
Menurut American Cancer Society berdasarkan ilmu pengetahuan tidak jelas apakah talcum menyebabkan kanker. Hasil dari penelaahan di Amerika mengenai penggunaan pribadi bedak talek beragam meskipun ada beberapa dugaan meningkatkan resiko kanker ovarium.
Nasib putusan gantirugi
Perusahaan J & J mempunyai catatan yang lebih baik dengan hakim daripada juri dalam perkara kanker ovarium.
Dalam perkara lain pembayaran kepada penggugat sebesar US$ 417 juta yang ditetapkan oleh juri Los Angeles pada bulan Agustus yang lalu dibatalkan oleh hakim pengadilan yang memutuskan bahwa bukti tidak mendukung putusan. Seorang hakim New Jersey pada tahun 2016 menunda gugatan yang akan disidangkan di negara bagian tersebut juga menemukan kurangnya bukti ilmiah.
Bagian penghukuman dari putusan St. Luis mungkin sangat rentan terhadap tantangan setelah persidangan atau banding. Pemberian ganti rugi yang bersifat penghukuman (punitive damage) dirancang untuk mencegah perusahaan atau tergugat lainnya terlibat dalam perilaku yang dianggap keterlaluan, nakal atau terlalu sembrono. Mahkamah Agung Amerika Serikat mengatakan bahwa jumlah pembayaran yang bersifat penghukuman itu harus proporsional dengan putusan kompensasi kerugian yang mendasarinya.
Gurubesar hukum Universitas John di New York mengatakan bahwa berdasarkan pedoman Mahkamah Agung, pembayaran yang bersifat menghukum sebesar 4 milyar dolar kelihatannya akan dianggap "berlebihan". Johnson & Johnson mempunyai kesempatan bagus untuk menjtuhkannya.
Sumber:
Bloomberg 13 Juli 2018
UPI 12 Juli 2018
www.medicalogy.com
Komentar
Posting Komentar