Beberapa waktu yang lalu saya dan beberapa teman makan di sebuah restoran di Jakarta Selatan. Di hadapan kami duduk seorang pemuda yang berselfie dengan latar belakang makanannya.
Rupanya bagi sejumlah orang selfie sudah merupakan gaya hidup. Hampir setiap hari mereka mengambil gambar wajahnya baik di kendaraan, di mal, di kampus, sedang minum dan sebagainya.
Banyak sekali definisi selfie, tapi menurut hemat kami selfie itu berhubungan erat dengan narsisme. Maka dari itu dalam kaitan selfie kita mengenal alat yang dinamakan tongsis yang merupakan singkatan tongkat narsis. Narsisme adalah perasaan cinta kepada diri sendiri yang berlebihan.
Tokoh mitos Yunani Narkissos dikutuk sehingga dia mencitai bayangannya sendiri di kolam. Lalu apa bedanya dengan orang yang berselfie karena yang difoto adalah dirinya sendiri yang kemudian dikagumi sendiri.
Sebenarnya tidak ada yang salah untuk berselfie karena memang tidak salah untuk mengagumi diri sendiri. Tapi yang menjadi persoalan adalah selfie yang mendatangkan bahaya.
Keinginan untuk dikagumi
Berdasarkan penelitian, di seluruh dunia dalam enam tahun terakhir ada lebih dari 259 orang yang tewas karena selfie. Penelitian itu dilakukan oleh para peneliti yang terkait dengan Institut Sains Medis All India, sekelompok perguruan tinggi medis publik yang berbasis di New Delhi.
Mungkin Anda berpendapat bahwa angka kematian 259 untuk masa 6 tahun tidaklah besar. Namun kematian karena selfie sebetulnya tidak perlu dan dapat dicegah. Selfie itu sendiri pada dasarnya bukanlah kegiatan yang berbahaya, tidak mematikan. Namun bahaya muncul ketika orang berusaha untuk mendapatkan bidikan yang sempurna.
Pertanyaannya mengapa orang ingin untuk mendapatkan selfie yang tidak wajar? Ternyata dibaliknya adalah keinginan untuk memperoleh acungan jempol (like), berbagi (share) di Facebook,Twitter atau media sosial lainnya. Tapi untuk mencapai tujuan tersebut seseorang tidak perlu untuk mempertaruhkan nyawanya karena tidak sepadan.
Beberapa contoh
Pada tanggal 10 Mei 2014 seorang rapper dari Puerto Rico, Ramon Gonzales, mengenadarai motor menuju rumahnya di New York dan mencoba untuk membuat foto selfie sambil berkendara. Tiba-tiba dia kehilangan kendali dan motornya meluncur ke jalur yang berlawanan arah. Dia tewas setelah motornya ditabrak mobil yang berada di jalur tersebut.
Seorang pelajar bernama Tomi Luki Saputra dari Kelurahan Kejuron Kota Madiun pada Februari 2015 harus kehilangan nyawanya akibat selfie dengan teman-temannya di rel kereta api. Tomi terlambat menghindar dari kereta api yang melintas sehingga tertabrak dan tewas.
Tahun ini tiga influencer media sosial di Kanada tewas setelah jatuh ke sungai dan tersapu air terjun. Mei yang lalu seorang lelaki di India mati setelah diserang oleh seekor beruang ketika dia mencoba untuk berselfie dengan binatang tersebut.
Pada tanggal 5 September seorang pejalan kaki berusia 18 tahun dari Yerusalem meninggal setelah jatuh dari tebing di Taman Nasional Yosemite. Dia mencoba untuk mengambil foto selfie di tepi Nevada Fall air terjun yang populer dan jatuh.
Pencegahan
Lalu apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi situasi yang demikian? Bagaimana caranya untuk mencegah anak muda jatuh dari tempat yang tinggi di pojok gedung atau puncak gunung atau perairan tertentu?
Studi menyarankan untuk mengeluarkan larangan berselfie yang ketat di tempat-tempat yang berbahaya atau no selfie zone
Usaha untuk menghentikan orang mengambil selfie yang berbahaya telah dicoba di beberapa negara seperi India, Rusia dan Indonesia.
Tiga tahun yang lalu Rusia meluncurkan kampanye selfie aman dengan slogan ' bahkan sejuta suka di media sosial tidak sepadan dengan nyawa dan kesejahteraan Anda'.
Pada tahun 2016 Mumbai mencanangkan 16 zona larangan selfie setelah serangkaian kematian yang berkaitan dengan selfie. Awal tahun ini sebuah taman nasonal Indonesia mengusulkan tempat berfoto yang aman setelah seorang pejalan kaki tewas ketika mengambil selfie.
Komentar
Posting Komentar